Hampir seluruh pengusaha properti Indonesia pasca kerusuhan yang mulai terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998 saat itu ,di ibarat melintirnya sebuah mobil yang sedang melaju dalam kecepatan tinggi namun terpaksa direm mendadak secara karena menghindari sebuah tabrakan didepan mata. Bahkan muncul anekdot yang menyatakan bahwa seorang Ciputra dan supirnya lebih kaya si supir. Karena si supir memiliki asset nol dan sang tuan memiliki asset minus.
Kondisi inevitable tersebut terjadi oleh karena strategi pembiayaan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia didasari atas sebagian besar hutang kepada para lembaga donor dunia, semisal: (1) IMF; (2) World Bank; dan (3) WTO. Dan ketika penarikan US Dollar besar-besaran terjadi, mengakibatkan lonjakan nilai tukar Rupiah dari sekitar Rp 5000-an per US Dollar menjadi Rp 15.000 - 20.000-an per US Dollar. Namun ditengah suasana tidak menguntungkan tersebut, ada sebuah property cluster yang remain stabil. Yang mampu tetap beroperasi seta tidak terlalu banyak melakukan lay off/PHK atas para karyawannya. Lokasi itu bernama Taman Impian Jaya Ancol yang didalam pengembangan bisnisnya melakukan proses internalisasi terhadap elemen entertainment terhadap salah satu SBU (strategic business unit) holding company grup Ciputra.